Skip to content

Agar Lekas Ikhlas

ikhlas“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”(QS. Al-An’aam: 162-163)

Sahabat, ikhlas bukanlah semata-mata kondisi tidak menyekutukan Allah dalam beribadah, misalnya tidak riya’ saat bersedekah, tidak mengharapkan pujian orang lain ketika melakukan kebaikan, akan tetapi ikhlas juga meliputi seluruh kehidupan kita.

Apakah kita ikhlas dan tak mengeluh ketika hari ini diuji dengan sakit flu dan batuk yang menyakitkan rongga dada, apakah kita ikhlas ketika terjebak macet di jalan, apakah kita ikhlas ketika listrik di rumah mati?

Apakah kita ikhlas saat nilai raport anak menurun, apakah kita ikhlas mengurus orangtua sakit yang tak kunjung sembuh, apakah kita ikhlas dengan kondisi bertahun-tahun belum juga memiliki keturunan, apakah kita ikhlas belum bisa melunasi utang-utang yang menggunung? Dan berbagai persoalan kehidupan lainnya yang tentu memerlukan keikhlasan.

Secara sederhana, ikhlas bisa dideteksi sebagai perasaan senang dalam menerima segala ketentuan Allah. Jadi jika kita mengaku ikhlas tapi sebenarnya hati masih terganjal, tidak rela, tidak nyaman, terus kepikiran, sebenarnya itu belumlah sampai pada hakikat keikhlasan.

Sama seperti radio, ikhlas itu memiliki frekuensi tersendiri yang bisa kita telusuri dalam hati. Jika frekuensi gelombang radionya tidak pas, sudah pasti akan ada gangguan bunyi kresek-kresek yang membuat tak nyaman di telinga. Demikian juga ketika hati tidak ikhlas, sudah pasti kita akan merasakan kresek-kresek dalam jiwa, terasa tidak jernih.

Lalu bagaimana agar kita lekas menemukan frekuensi keikhlasan? Tentu salah satunya adalah dengan mengingat kembali hakikat hidup, apa sih yang merupakan tujuan penciptaan kita di dunia ini?

Apakah kita diciptakan di dunia ini untuk membayar utang? Jika tidak, mengapa kita banyak sekali memikirkan tentang utang bahkan merasa tidak ikhlas atas kondisi ini? Apakah kita diciptakan di dunia ini untuk melahirkan anak? Jika tidak, mengapa begitu seringnya bersedih dan memikirkan kapan akan hamil dan memiliki bayi?

Lantas, apakah kita diciptakan di dunia ini untuk menjadi sehat dan sempurna? Mengapa begitu tidak ikhlasnya mendapatkan penyakit dan ujian cacat fisik, padahal kondisi sakit dan cacat yang kita miliki bisa jadi menguntungkan bagi kehidupan dunia akhirat kita.

Tak sadarkah kita bahwa ketidakikhlasan dengan kondisi saat ini sama saja dengan melupakan tujuan Allah menciptakan kita! Sama seperti punya orang yang bertujuan ingin mendaki gunung, tapi kemudian ia turut membawa kipas angin listrik, televisi 24 inchi, serta lemari kabinet, tentu aneh bukan?

Untuk apa membawa barang-barang yang tak sesuai dengan tujuan mendaki gunung? Hanya akan membuat kita ribet sepanjang jalan, juga tak bermanfaat! Demikian halnya jika kita terus memikirkan dan mengurusi hal-hal yang tak sejalan dengan tujuan Allah menciptakan kita, untuk apa sih memberatkan diri seperti itu?

Tahukah kita apa sebenarnya tujuan Allah menciptakan manusia? Ya, hanya untuk menyembah dan beribadah pada Allah! Apapun kondisi kita yang diberikan olehNya.

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)

Jadi, segeralah menemukan frekuensi ikhlas dalam hati dan fokuslah menjalani hari-hari hanya untuk memenuhi tujuan penciptaan diri kita! Bukan untuk mengeluhkan apa yang tidak kita miliki dan menjadi rusak keikhlasan karena hal tersebut!

Tanyakan pada diri, apa yang bisa kita lakukan untuk beribadah pada Allah dengan potensi terbaik yang Ia titipkan pada kita? Bagi para ibu rumah tangga, beribadah bisa dilakukan dengan mengurus suami dan anak-anak. Jika tidak dikaruniai anak, bisa juga dengan jalan mengurus dan mendidik anak orang lain.

Bagi para penulis, beribadah pada Allah bisa dilakukan dengan cara menuliskan kebaikan dan inspirasi positif. Bagi para orang kaya, beribadah bisa dilakukan dengan  mewakafkan harta, bersedekah, menyantuni kaum dhuafa. Dan bagi orang miskin, beribadah bisa dilakukan dengan melakukan banyak kebaikan, merasa cukup dengan pemberian Allah, dan banyak berdzikir memujiNya.

Sahabat, kita tidak Allah suruh untuk menjadi seperti ini, seperti itu, agar bisa beribadah padaNya. Kita tidak diminta menjadi mubaligh seluruhnya, yang bisa berdakwah di atas mimbar dan memiliki banyak jamaah. Kita juga tak dimintaNya mengurung diri dalam goa untuk terus-menerus shalat tanpa henti dan berpuasa tanpa berbuka.

Bukankah Allah menerima diri hambaNya apa adanya? Dan menerima ibadah kita sesuai kadar kesanggupan masing-masing.

“Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Jika Allah saja ikhlas dengan kondisi diri kita dan menerima kita apa adanya sebagai hambaNya, mengapa kita sendiri sulit merasa ikhlas dan malahan terus-menerus disibukkan dengan hal-hal yang sebenarnya justru mencoreng keikhlasan dalam hati?

Mudah-mudahan Allah mengaruniakan kita rasa ikhlas dan senang dengan segala pemberianNya. Agar kita benar-benar mampu merealisasikan pernyataan janji: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untum Allah, Tuhan Semesta Alam.” wallaahualam. (SH)

pahala wakaf mengalir abadi. tabungwakaf dompet dhuafa