“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18)
Sahabat, sejatinya tak ada yang bisa dibanggakan dari diri kita.
Membanggakan keelokan rupa kita? Hanya titipan Allah saja. Tak lama akan mengeriput, mengendor, bahkan terkubur tanah serta dipenuhi belatung. Semestinya keelokan rupa bukan untuk dibanggakan melainkan untuk disyukuri.
Membanggakan kecerdasan kita? Juga sekadar titipan Allah yang kelak akan diminta pertanggungjawabannya. Justru semakin cerdas diri kita semestinya makin banyak pula manfaat yang kita sebarkan pada umat.
Membanggakan amal shaleh kita?
Bukankah hanya menghanguskan amalan yang kita perbuat sehingga menjadi laksana debu. Bangga terhadap amalan justru membuat kita memperoleh kemurkaan Allah:
Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang merasa dirinya hebat dan congkak ketika berjalan, maka ia akan menjumpai Allah Azza wa Jalla dalam keadaan murka kepadanya.” (HR Bukhari)
Bahkan sekalipun seseorang yang banyak beramal dengan mempelajari al Qur’an, jika lantas ia membanggakan dirinya dan bangga atas pemahamannya terhadap Qur’an, merasa tak ada yang lebih baik dari dirinya, sangat mungkin rasa ujubnya tersebut justru menjadikannya sebagai bahan bakar neraka:
Dari Abdullah bin Abbas radliyallahu anhumadari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “… Dan benar-benar akan datang suatu masa atas manusia, yang pada masa tersebut mereka akan mempelajari alqur’an, mereka mempelajari dan membacanya, kemudian mereka akan berkata, “Sungguh-sungguh kami telah membaca dan mengetahui, maka siapakah orang yang lebih baik dari kami? Maka apakah pada mereka itu ada kebaikan?” Mereka bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rosulullah?”
Beliau menjawab, “Mereka itu adalah termasuk kalian dan mereka itu adalah bahan bakarnya neraka.” (HR ath-Thabraniy di dalam al-Kabiir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: sanad hadits ini hasan insyaa Allah ta’ala, lihat Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 133)
Na’udzubillah min dzalik.
Jelas bahwa tak ada satu pun yang bisa kita banggakan, juga tak ada yang patut membuat kita merasa lebih baik dari orang lain.
Lalu, bagaimana cara mendeteksi apakah kita memiliki sifat bangga diri sendiri yang berpotensi membinasakan? Berikut beberapa di antaranya sikap yang harus kita hindari:
1. Ingin orang lain mengetahui dan mengakui kelebihan diri kita
Jika kita memiliki wajah cantik, suara merdu, bacaan Qur’an yang bagus, otak yang cerdas, amalan sedekah yang luar biasa banyak dan kita berharap orang-orang mengetahui hal ini serta mengakuinya sebagai kebolehan yang luar biasa, maka sangat mungkin kita telah terinfeksi virus ujub.
Akan tetapi jika kita menyadari memiliki kelebihan dan bersyukur pada Allah atas hal ini serta tidak mengharapkan pujian orang lain, maka In syaa Allah kelebihan tersebut bukanlah hal buruk.
2. Merasa berjasa
Meskipun kita benar-benar berjasa terhadap orang lain dan masyarakat, semestinya tak boleh perasaan berjasa itu kita akui dengan lisan dan perbuatan, karena dengan demikian kita telah melupakan hakikat bahwasanya Allah lah yang menggunakan diri kita sehingga kita memiliki kemanfaatan untuk umat.
3. Marah jika tak diakui atau tak disebut-sebut
Satu sikap lainnya yang membuktikan adanya sifat ujub alias bangga diri pada hati kita adalah adanya rasa marah jika orang lain tak mengakui kehebatan diri kita.
Misalnya sudah naik haji kok tak dipanggil bapak haji, sudah banyak mewakafkan tanah dan bangunan tapi kok tidak dikenali oleh orang-orang, sudah hafal 30 juz Quran tapi kok tidak disebut Ustad/Ustadzah. Ada rasa marah jika orang tak mengakui kehebatan diri kita. Na’udzubillah.
4. Merasa pantas masuk surga
Sikap buruk lainnya yang perlu dibuang jauh-jauh adalah perasaan ‘pantas’ masuk surga.
Hanya karena kita memiliki kelebihan ini itu dan banyak melakukan amalan begini dan begitu, sungguh tak pantas rasanya jika kita merasa layak ditempatkan Allah dalam surga.
Barangkali dengan perasaan layak surga tersebut, Allah justru akan campakkan kita ke dasar neraka.
5. Membanggakan keluarganya atau anak keturunannya
Ada orang yang terus-menerus membanggakan keluarganya, anak keturunannya, maupun nenek moyangnya. Ia menceritakan segala macam kehebatan keluarganya tersebut agar orang lain semua mengetahui dan memuji keturunannya.
Ia tak sadar bahwa keluarga yang baik dan banyak manfaat bukanlah untuk dibanggakan melainkan untuk disyukuri.
6. Senang disanjung
Orang yang ujub biasanya senang sanjungan. Jauh berbeda dengan orang yang beribadah ikhlas tanpa mengharap diketahui manusia, justru ia akan takut jika amalannya diketahui orang lain. Ia takut amalan tersebut menjadi dimurkai Allah karena ia beramal hanya untuk Allah, bukan agar diketahui makhluk.
Sahabat, semoga kita bisa menghindari berbagai sikap buruk yang membanggakan kondisi diri sendiri. Sungguh, segalanya hanya titipan Allah yang perlu kita syukuri dan maknai sebagai ‘utang’ yang harus dikeluarkan untuk sebesar-besarnya manfaat pada umat. (SH)
Baca Juga: Amalan Kebaikan Bukan untuk Disombongkan