Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya... maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari Kiamat.” (QS. Al Kahfi: 103-105)
Sahabat, ternyata akan ada orang-orang yang paling merugi di akhirat, yakni mereka yang menyangka telah melakukan amalan terbaik namun ternyata Allah tidak memperhitungkan amalan tersebut, bisa dikatakan bahwa amalan yang mereka lakukan selama di dunia ini sia-sia belaka. Na’udzubillah min dzalik.
Bagaimana bisa orang-orang ini menganggap telah melakukan amalan yang sebaik-baiknya tapi ternyata Allah enggan menilai amalan mereka bahkan hendak menghapuskannya?
Tentu ada sesuatu yang perlu kita garisbawahi agar tidak gede rasa (ge-er) dalam beramal, karena jelas bahwa amalan bukan hanya dinilai dari segi kuantitas atau banyaknya, melainkan dari kualitas amalan tersebut:
“…Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2)
Banyak orang yang terjebak rasa ge-er terhadap amalannya karena merasa telah banyak beribadah, telah berbekas keningnya dengan tanda hitam tanda banyak sujud, telah banyak hartanya didermakan untuk wakaf dan kepentingan umat, lalu apakah yang membuat Allah tidak mau memperhitungkan amalan tersebut?
Berikut ini beberapa faktor suatu amalan tidak diterima atau pelakunya menjadi orang merugi meskipun telah melakukan banyak amal ibadah:
1. Melakukan amalan dengan tidak ikhlas atau tidak benar, atau tidak kedua-duanya
Imam Fudlail bin ’Iyadl mengatakan, ”ahsanu ’amala” atau sebaik-baiknya amal berarti ”yang paling ikhlas” dan yang benar.”
Ia berkata, ”Perbuatan tidak akan diterima hingga amal itu ikhlas dan benar. Ikhlas adalah jika amal itu ditujukan hanya untuk Allah, sedangkan benar adalah jika amal itu sesuai dengan sunnah Rasulullah.”
Artinya, seseorang dengan amalan segunung pun takkan ada nilainya jika melakukannya karena berharap pujian orang lain, atau sekadar pencitraan di hadapan manusia.
Juga, tak ada artinya amalan tersebut jika dilakukan tak sesuai dengan ilmu yang diajarkan dalam kitabullah ataupun sunah Rasulullah.
Misalnya seseorang yang membuat-buat amalan baru; mengganti bacaan Quran dalam shalat dengan nyanyian puji-pujian, padahal Allah dan RasulNya tak pernah mengajarkan cara ibadah yang demikian. Atau, orang yang selalu shalat namun tak memperhatikan hadats atau najis yang melekat di dirinya.
Sudah jelas bahwa amalan yang tidak ikhlas dan tidak benar takkan diperhitungankan nilainya kelak di akhirat. Maka jangan sampai kita merugi karena tak memiliki ilmu dalam beribadah.
2. Melakukan banyak amalan ibadah tapi juga banyak berbuat zhalim pada manusia
Benar-benar akan terjadi banyak transaksi pahala dan dosa kelak di hari kiamat. Dan orang yang bangkrut adalah mereka yang banyak ibadahnya namun juga banyak melakukan kezhaliman pada sesama manusia. Mereka akan dicampakkan dalam neraka sekalipun memiliki amalan setinggi langit.
“Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun ia juga datang dengan membawa dosa kezhaliman. Ia pernah mencerca si ini, menuduh tanpa bukti terhadap si itu, memakan harta si anu, menumpahkan darah orang ini dan memukul orang itu. Maka sebagai tebusan atas kezhalimannya tersebut, diberikanlah di antara kebaikannya kepada si ini, si anu dan si itu. Hingga apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang dizhaliminya sementara belum semua kezhalimannya tertebus, diambillah kejelekan/kesalahan yang dimiliki oleh orang yang dizhaliminya lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim no. 6522)
3. Melakukan banyak amalan namun berbangga diri dan merasa suci karena amalan tersebut
Inilah hal yang banyak menjebak ahli ibadah, mereka merasa tidak pernah berbuat dosa besar, selalu beribadah siang malam di dalam masjid, namun disebabkan mereka merasa dirinya suci dan bangga pada amalan yang telah diperbuat, maka jadilah amalan tersebut tertolak.
“Andaikan kalian tidak pernah berbuat dosa sedikitpun, pasti aku khawatir kalau kalian berbuat dosa yang lebih besar, yaitu perasaan ujub.” (HR. Al Bazzar)
“Tiga hal yang membinasakan, (salah satunya adalah) kekaguman seseorang pada dirinya sendiri.” (HR. Thabrani).
Padahal Allah telah mengingatkan kita untuk tak menyatakan diri suci, apalagi meyakini bahwa amalan ibadah yang kita lakukan telah membuat kita berada pada derajat dekat dengan Allah, sehingga kita merasa berhak menilai orang lain itu beriman, munafik atau kafir. Na’udzubillah.
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)
Sahabat, oleh sebab itu hendaknya kita tidak merasa ge-er dan aman terhadap amalan yang kita lakukan. Bukankah Rasulullah yang telah dijamin surga sekalipun tetap melakukan banyak amalan, shalat wajib dan sunah, puasa, serta menyedekahkan seluruh harta yang beliau dapatkan untuk kaum dhuafa, namun tak ada sedikitpun ujub dalam hatinya?
Apalagi kita yang tidak memiliki jaminan surga atau syafaat apapun, jangan pernah merasa aman padahal amalan kita baru sedikit dan belum tentu diterima.
Mari kita beramal dengan mengharap ridho Allah semata, karena sungguh, sebanyak apapun amalan yang kita lakukan tak mungkin bisa membawa diri ini ke surga, hanya ridho Allah yang mampu. Wallaahualam. (SH)