Yang dinamakan kekayaan bukanlah banyaknya harta-benda tetapi kekayaan yang sebenarnya ialah kekayaan jiwa (hati). (HR. Abu Ya’la)
Banyak orang menganggap memiliki banyak harta adalah tanda kebahagiaan. Karena mereka menganggap dengan memiliki harta yang banyak akan dapat membeli semua kebutuhan dan apapun yang diinginkan. Sehingga dibenak mereka beranggapan bawah pemilik harta adalah orang yang bahagia dan hidupnya senang, tidak memiliki kesusahan suatu apapun.
Padahal yang harus dipahami adalah, didalam harta itu terkandung cobaan yang sangat berat. Sebagaimana pembahasan kita pada tulisan bagian satu, harta adalah rezeki yang paling diminati dan diburu manusia karena kebebasan untuk membeli “rezeki” lainnya sesuai keinginan. Namun justru “kebebasan” yang terkandung dalam harta inilah yang sering kali menjerumuskan manusia menjadi pelit (bakhil), tamak, diperbudak harta, lalai dan sombong.
Kemilau harta mampu melalaikan orang beriman dan semakin menyesatkan mereka yang tidak beriman. Sebagaimana sebagian pemanah yang ditugaskan Rasulullah di bukit Uhud, mereka meninggalkan tugas saat melihat Ghonimah (harta rampasan perang). Atau sebagaimana Qorun yang tadinya beriman jadi tersilau harta hingga meninggalkan keimanan lalu dibenamkan Allah SWT kedalam tanah terkubur bersama hartanya.
Pada hakikatnya, Harta itu adalah titipan Allah SWT (dalil: QS Adz-Dzariyaat:19). Harta tidak akan sampai pada seseorang kecuali dengan izinnya. Allah-lah sebenarnya Sang Pemilik harta tersebut, jadi sudah seharusnya yang Menitipkan lebih memiliki hak terhadap harta tersebut dibandingkan yang dititipkan. Manusia yang dititipkan harta hanya berhak menggunakan titipan tersebut sesuai petunjuk Pemiliknya.
Saat memiliki harta, kita harus menunaikan penggunaan harta tersebut sebagaimana petunjuk Allah SWT, tidak bebas menggunakan harta untuk membeli apapun yang diinginkan mengikuti hawa nafsu. Ada aturan dan tuntunan dari Allah dan RasulNya dalam mengelola dan menggunakan harta yang dititipkan pada kita.
Ada 3 hal yang harus ditunaikan saat kita memiliki harta. Mengeluarkan zakat, infaq dan sedekah, menggunakannya untuk fisabilillah, serta mengambil secukupnya untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga.
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahawa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,
pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka, (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.”
(QS. At-Taubah: 34-35).
Jadi, kebahagiaan itu Allah SWT anugerahkan bagi mereka yang hartanya digunakan untuk bersedekah dan menggunakannya cukup sekedar memenuhi kehidupan sederhana. Bukan dengan menghimpun dan menumpuk harta dan bermewah-mewah dengannya.
“Ada tiga hal yang aku bersumpah, maka hafalkanlah, yaitu tidak akan berkurang harta mereka karena bersedekah, tidak ada seorang hamba pun yang dizalimi kemudian ia bersabar, pasti Allah akan menambahkan kemuliaan, dan tidak ada seorang hamba pun yang membuka pintu meminta-minta, kecuali Allah akan membukakan baginya pintu kefakiran.” (HR. At-Tirmidzi)
Jika “Kaya” itu adalah kehidupan yang menyenangkan, menentramkan dan membahagiakan. Maka orang berlimpah Harta belum tentu seorang yang “kaya”. Karena banyak orang yang hidupnya sederhana yang bisa mewujudkan itu semua. Tidak sedikit orang mengejar kekayaan lalu terwujud, namun hidupnya tidak bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Na’udzubillah . (qodratsq)
Wallahu a’lam