Namanya memang Asbun. Kalau ditujukan ke politikus kata ‘asbun’ mungkin menggelikan. Maklumlah, asbun bagi para politikus berarti asal bunyi. Politikus memang tukang janji. Janji yang kerap sulit ditepati.
Tapi Asbun yang ini beda. Ia benar-benar Asbun. Bukan politikus, tapi penjual es kueh. Ia kategori pedagang kecil. Tapi jangan mengira ia bodoh. Kalau sudah ngomong, terlihat kecerdasannya. Kalau tidak cerdas mana bisa ia bisa mengembangkan bisnis es kueh dan baksonya yang kian waktu kian berkembang itu. Ia juga didapuk menduduki kursi ketua KPMS (Kelompok Pengusaha Makanan Sehat) dan menjabat wakil ketua Koperasi ISM Cipinang. Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur, memang wilayah usaha Asbun.
Sukses Asbun selain karena kekuatan dirinya, juga karena dorongan Masyarakat Mandiri, melalui programnya, Ikhtiar Swadaya Mitra (ISM) Masyarakat Mandiri (MM) Dompet Dhuafa (DD). Dari ISM Asbun memperoleh tambahan modal. Usahanya pun mendapat stempel Usaha Makanan Jajanan Sehat dan Halal dampingan MM dan DD. Tak sampai setahun, produksi dan pendapatannya dari es kueh berkembang pesat. Bahkan, sampai saat ini, Asbun memiliki usaha lain: penyewaan odong-odong. Ia memiliki delapan unit. Mainan anak-anak yang dibuat dan dirakit sendiri itu disewakan kepada remaja putus sekolah yang ingin bekerja.
Tak berlebihan kiranya, jika sukses Asbun mungkin juga dari modalnya yang suci dari noda. Bayangkan kalau modalnya dari hasil korupsi. Mungkin sudah lama bangkrut atau usahanya dipenuhi kekacauan. Lalu darimana cerita modal untuk Asbun bermula? Mungkin tak banyak yang tahu, salah satu sumber modal buat usaha Asbun adalah dari tiga keping dinar.
Ceritanya bermula dari Tabung Wakaf Indonesia (TWI) yang mendapat surplus dari berbagai program produktifnya. Sebagian surplus itu, diberikan ke MM dengan akad hibah. MM dengan sigap menyalurkan tiga dinar itu untuk tambahan modal salah satu mitra dampingannya. Ya pengusaha sukses Asbun, yang bernama lengkap Asbun Alfiali itu. Bukan hanya Asbun yang mendapat suntikan modal, tapi juga kawan-kawannya, yang berprofesi sebagai pedagang bakso. Ada sepuluh pengusaha yang dapat modal, yakni lima pedagang bakso dan lima pedagang es kueh. Jika dirupiahkan, masing-masing dapat tambahan modal Rp 350 ribu.
Sistem penyaluran modal tidak langsung ke pedagangnya, tapi melewati Koperasi Ikhtiar Swadaya Mandiri Cipinang. Koperasi bentukan MM ini, beranggotakan 43 bos pedagang. Karena 3 dinar tak seberapa, MM hanya memberikan ke satu bos saja. Bos itu kemudian menyerahkan ke lima sampai 10 anak buahnya. Anak buahnya ada yang berjualan es kueh ada juga yang berdagang bakso. Sistem kerjasamanya dengan MM via Koperasi adalah bagi hasil dengan rasio 90:10. “Pedagang setor ke koperasi 10 persen dari laba bersih,” ujar Direktur MM, Tendy Satrio.
Tendy juga berharap ke depan kerjasama dengan TWI bisa ditingkatkan. Bagaimana pun modal dari surplus wakaf sarat dengan berkah. “ Setidaknya, ada dua yang lahir dari usaha produktif yang berasal dari surplus wakaf, pertama pahala yang terus mengalir untuk wakifnya, dan kedua, berkah bagi penerima surplusnya seperti usaha bapak Asbun dan kawan-kawan yang kian hari kian berkembang itu,” ujar Tendy. Nah, bagaimana tantangan dari MM ini dijawab TWI, berpulang kepada kemampuan TWI mengembangkan wakaf produktif supaya bisa ‘menelurkan’ surplus yang berlimpah-limpah. Semoga. (ajm)