Suatu ketika si Kabayan dan istri tercinta Iteung sedang berjalan berdua mereka hendak pergi ke pasar membawa hasil kebun untuk dijual.
Saat melewati tanjakan sang istri meminta gendong kepada Kabayan dan terus mengeluh, “Kang Kabayan, gendong Iteung atuh, Iteung capek nih”, pintanya. Tapi Kabayan menolak dan malah mengajak Iteung tersenyum dan bernyanyi, tetapi sang istri tetap saja merengek minta digendong dan terus mengeluh, dan mereka terus berjalan diiringi dengan gurauan-gurauan kecil Si Kabayan hingga sampai di puncak tanjakan.
Begitu bertemu dengan turunan, anehnya si Kabayan malah berjalan dengan bermalas-malasan sambil menyeret-nyeret sandalnya dan seringkali berhenti untuk duduk beristirahat. Sementara sang istri Iteung terlihat senang sekali dan bersemangat. Perlu diketahui, Jalan antara rumah Kabayan dengan pasar cukup jauh, berkilo-kilo, berkelok-kelok dan jalan turun naik. Biasanya mereka berangkat ba’da Subuh dan sampai di pasar pukul 8 pagi, lalu melakukan transaksi jual beli sampai menjelang dzuhur mereka kembali pulang.
Ada pelajaran menarik dalam perjalanan mereka, dimana setiap kali bertemu tanjakan, si Iteung selalu minta gendong dan mengeluh capek, wajahnya yang cantik selalu cemberut, sementara wajah si Kabayan malah sebaliknya, dia bernyanyi-nyanyi sambil bersiul dan terus tersenyum sampai wajahnya yang hancur berubah jadi terlihat gagah, namun sebaliknya, setiap kali si Kabayan menemukan jalan yang menurun, si Kabayan terus cemberut, sangat berlawanan dengan raut wajah Iteung yang sumringah.
Melihat ekspresi suaminya yang aneh itu, Iteung menjadi kesal dan marah-marah kepada si Kabayan. Iteung mempertanyakan mengapa suaminya malah senang saat menemui tanjakan dan murung saat menemui turunan. Lalu Si Kabayan mengajak istrinya untuk beristirahat sejenak di bawah pohon beringin yang rindang. Saat melepas lelah, si Kabayan mulai menjelaskan perihal tanda tanya besar yang muncul di kepala Iteung.
Si Kabayan berkata kepada istrinya, “Iteung sayang, setiap kita menemui tanjakan pasti kita bertemu turunan, jadi mengapa kita sedih?, dan Setiap kita menemui turunan pasti setelahnya kita akan menemui tanjakan lalu mengapa kita senang?”. Sambil mengangguk-angguk Iteung sang istri mengiyakan perkataan si Kabayan. Akhirnya mereka terus melanjutkan perjalan ke pasar.
Hal ini mengingatkan kita bahwa rukun iman itu ada 6, bukan 5 ½. Mengapa demikian, karena rukun iman yang keenam percaya kepada Qadha dan Qadar. Kebanyakan kita akan lupa daratan disaat kita senang, dan kita baru ingat kepadaNya disaat kita susah. Jika kita tidak mau menerima yang buruk, maka kita harus adil tidak menerima baiknya. Kita mau dapat rezekiNya, tetapi kita tidak mau dapat masalah. Padahal masalah itu adalah sebuah ujian, jika kita berhasil melewati ujian tersebut maka derajat kita akan diangkat dan keimanan kita akan bertambah. Bukankah tanda-tanda orang yang beriman itu adalah dia akan selalu diuji?
Maka teruslah tersenyum walaupun kita sedang mengalami sebuah masalah. Itulah hikmah dari kisah si Kabayan yang mengapa dia tersenyum saat menemui tanjakan dan murung saat menemui turunan.
Oleh : Kak Iman Surahman (Pengasuh Dongeng Ceria Management)