Skip to content

Inilah Syarat Merasakan Manisnya Iman

Merasakan Manisnya Iman

Merasakan Manisnya Iman

Ada tiga perangai atau sifat yang jika ada pada diri seseorang, maka orang tersebut akan merasakan manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, (2) Mencintai seseorang, yang dia tidak mencintai orang tersebut kecuali karena Allah, (3) Membenci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran tersebut sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api neraka,” (HR. Bukhari Muslim)

Dan dalam riwayat yang lain disebutkan dengan lafazh: “Tidaklah seseorang mendapatkan manisnya iman sampai dia mencintai seseorang, dan tidaklah kecintaannya itu kecuali karena Allah …” -sampai akhir hadits-.

Sahabat, mungkin bagi sebagian orang iman itu terasa pahit: Harus lolos dalam berbagai ujian hidup, harus mengekang hawa nafsu, syahwat, serta istiqomah dalam kesabaran. Bukankah ini adalah konsekuensi yang ‘pahit’ untuk sebuah pengakuan keimanan?

Bagaimanapun, orang beriman pastilah diuji, sebagaimana seorang murid yang menyatakan “Saya sudah mengerti Bu“, pastilah gurunya akan menguji untuk mencari tahu kejujuran sang murid. Dia benar sudah mengerti atau hanya pura-pura bisa.

Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan: “Kami telah beriman, sedangkan mereka tidak diuji?” (QS. Al Ankabut: 2)

Maka, iman baru bisa terasa manis apabila kita memiliki 3 hal berikut:

1. Mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari apapun juga

Sebagaimana tabiat cinta pada umumnya, seseorang yang jatuh cinta akan rela berkorban, rela melakukan apapun demi yang dicintainya. Dan perjuangan apapun yang dilakukan, akan terasa begitu manis.

Seorang ibu yang melahirkan dengan rasa sakit luar biasa, remuk, sobek, dan berdarah-darah, langsung tersenyum begitu sang bayi terlahir. Itulah cinta.

Maka demikianlah jika kita telah mencintai Allah dan Rasul-Nya, segala yang kita korbankan akan terasa lezat, manis. Menahan diri dari harta yang haram, se-menggiurkan apapun tawarannya, manis. Mengeluarkan sebagian harta di waktu lapang maupun sempit, manis. Berpuasa menahan lapar dan haus selama sebulan penuh, manis.

Segala apapun akan terasa manis jika kita telah mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya di atas apapun jua. Dengan demikian menjadi jelas, jika kita masih berat dan terasa pahit melakukan ketaatan pada Allah, barangkali karena memang kita belum jatuh cinta padaNya.

2. Mencintai seseorang karena Allah, dan kita tidak mungkin mencintai orang tersebut jika bukan karena Allah

Sulit memang mengenali apa yang dimaksud dengan cinta karena Allah SWT. Sebagai contoh, seorang ulama shaleh bernama Abu Utsman An Naisaburi, ia hidup melajang hingga ada seorang wanita yang menyatakan jatuh hati padanya, wanita itu berasal dari keluarga miskin sehingga Abu Utsman tergerak menikahinya.

Namun setelah menikah, ia baru tahu bahwa mata sang istri juling, wajahnya begitu buruk dan ada cacat di kakinya. Apakah ia merasa tertipu dan lantas menceraikan istrinya tersebut?

Tidak, Abu Utsman senantiasa menjaga perasaan istrinya dan terus membina rumah tangga hingga ajal memisahkan mereka, yakni sampai istrinya meninggal setelah 15 tahun pernikahannya. Abu Utsman melakukan itu semua karena ia mencintai istrinya karena Allah SWT. Jika ia mencintai nafsunya, tidaklah mungkin ia bisa bertahan dengan istri semacam itu barang semalam.

Pria yang menjaga perasaan istrinya selama 15 tahun itu berharap Allah SWT memantaskannya untuk masuk syurgaNya karena hal tersebut. Bisa terlihat kesungguhan cinta pada Allah menjadikannya menganggap baik setiap takdir yang terjadi pada dirinya.

Barangkali kita pun menemui hal demikian dalam kehidupan. Seorang istri yang disia-siakan suaminya, tidak dinafkahi dengan cukup, mendapat perlakuan tidak adil, namun masih bisa bertahan dan berbakti pada sang suami. Mungkin ia akan terlihat bodoh di mata manusia lain. Akan tetapi jika ia melakukan hal tersebut karena cintanya pada Allah SWT, maka ia akan bisa merasakan manisnya keimanan yang dipegang teguhnya tersebut.

3. Membenci untuk kembali pada kekufuran setelah bertaubat

Sahabat, setiap orang memiliki kesalahan, ada yang berupa perbuatan maksiat, ada yang berupa kekufuran. Apapun itu, ketika Allah SWT memberi petunjukNya dan kita telah bertaubat, maka ketika kita membenci kembali pada hal buruk tersebut. Disaat itulah kita bisa mengenali manisnya iman. Wallahualam. (SH)

Sumber: Dompet Dhuafa

 

pahala wakaf mengalir abadi. tabungwakaf dompet dhuafa