Skip to content

Ketika Dunia Belum Terasa Seperti Penjara

dunia adalah penjaraSahabat, apakah kita telah merasakan bahwasanya dunia ini adalah penjara? Jika belum, mungkin keimanan kita perlu dikoreksi kembali.

“Loh, mengapa begitu? Saya hidup tanpa ada kekurangan uang, atau kekurangan fisik, mengapa saya harus merasa hidup di dunia ini adalah penjara?”

Jika terlintas pertanyaan yang demikian di benak Sahabat, barangkali karena masih sering terlupa, atau bahkan belum tersadar, bahwa nikmat yang kita rasakan di dunia ini sesungguhnya amat sangat remeh dibandingkan apa yang Allah sudah siapkan di surga kelak.

Seorang yang beriman pada Allah, idealnya merasakan betapa dunia ini adalah penjara bagi dirinya. Bahkan sekalipun ia menguasai seluruh emas, berlian, dan harta berharga yang ada di dunia ini. Tetap saja, seorang mukmin akan mengakui bahwa dunia ini benar-benar penjara yang mengurungnya. Sebagaimana sabda Rasulullah:

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim no. 2392)

Setidaknya beberapa hal berikut ini, cukup menjadi alasan bahwa seorang yang belum merasakan dunia adalah penjara, bisa jadi keimanannya belum sempurna, dan perlu evaluasi diri:

1. Di dunia ini kita tak dapat menatap Allah

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb telah berfirman (langsung kepadanya), berkatalah Musa:”Ya Rabbku, nampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”. Allah berfirman:”Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata:”Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama beriman.” (QS al-A’raaf:143)

Ayat di atas menunjukkan pada kita bahwa kita tak dapat menatap wajah Allah di dunia ini. Akan tetapi di akhirat kelak kita akan mengetahui bahwa nikmat terbesar yang bisa didapatkan oleh seorang hamba adalah bertemu dengan tuannya.

Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka melihat” (QS Al-Qiyaamah:22-23).

Sahabat, pernahkah merasakan bagaimana menderitanya terpisah jauh dari seseorang yang dicintai? Bukankah sehari terasa bagai setahun? Terhidang makanan lezat pun takkan bisa ditelan. Terhampar kasur empuk pun takkan nyaman untuk ditiduri? Semuanya disebabkan kekasih hati tak ada di sisi.

Mungkin itulah sebabnya Rasulullah tak pernah rela mengenyangkan perutnya, tak pernah tertawa berlebihan, tak pernah tidur terlalu pulas, tak pernah memberi hatinya untuk dunia, disebabkan rasa cintanya pada Allah yang begitu besar.

Maka, setiap malamnya Rasulullah menyibukkan diri dalam sujud panjang, isak tangis karena merindukan perjumpaan dengan Rabbnya di akhirat kelak.

Maka demikianlah semestinya seorang mukmin merasakan ketidaknyamanan hidup di dunia ini, karena kita tak mampu menatap wajah Allah di tempat yang rendah dan hina ini. Bukankah setiap mukmin semestinya menempatkan rasa cinta pada Allah di atas segalanya? Mengapa kita tak merasa bersedih karena tak melihat Dia yang tercinta di sini?

Bukankah dengan demikian jika kita merasa nyaman menjalani hari di dunia ini, tanpa merasa terpenjara sama sekali, keimanan kita patut dipertanyakan? Apakah cinta kita pada hal keduniawian masih lebih besar dibandingkan kecintaan kita pada Allah? Astagfirullah.

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS Yunus: 26)

2. Terpisah dengan kenikmatan abadi

Nikmat di dunia ini semu. Apa yang kita makan akan keluar menjadi kotoran, apa yang saat ini terlihat mempesona, bertahun-tahun lagi tertutup oleh kerutan dan faktor penuaan lainnya.

Sungguh jauh berbeda dengan kenikmatan di surga yang abadi dan terus-menerus terasa sebagai pengalaman pertama kalinya.

“Sesungguhnya kelompok pertama yang akan masuk surga itu berwajah tampan dan cantik, seperti bulan di malam purnama. Kemudian, cahaya wajah orang-orang yang mengikuti di belakangnya, seperti bintang kejora yang paling gemerlap cahayanya di langit, setelah itu cahaya-cahaya itupun turun. Mereka tidak perlu buang air kecil, tidak perlu buang air besar, tidak meludah, dan tidak ingusan. Sisir mereka terbuat dari perak [dalam riwayat lain disebutkan dari emas]. Aroma keringat mereka seperti parfum misik, aroma dupanya harum mirip seperti dupa India. Istri-istri mereka adalah para bidadari. Tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka, tidak saling dengki, hati mereka satu. Mereka bertasbih kepada Allah, setiap pagi dan petang.” (HR Bukhari)

Mengetahui kenikmatan abadi yang telah Allah siapkan di akhirat kelak, bukankah sudah sepatutnya membuat kita merasa dunia ini layaknya penjara?!

Setidaknya dua hal tersebut semestinya telah dapat mendorong setiap kita untuk  merenungi makna hidup dengan sebenarnya, hingga kita menyadari bahwa dunia ini layaknya penjara yang tak patut dibanggakan apalagi diperebutkan. Wallahualam. (SH)

Baca Juga: Memandang Hina Dunia

pahala wakaf mengalir abadi. tabungwakaf dompet dhuafa