Skip to content

Kisah Pemimpin Umar Bin Abdul Azis

Pertanyaan Bagi Para Pemimpin Indonesia

Pemilu-nya masih tiga tahun lagi, kasak kusuknya sudah terasa dari sekarang. Spekulasi soal siapa bakal mencalonkan siapa, atau siapa dicalonkan siapa sudah mulai ramai dibicarakan. Yang menyoroti diri sendiri juga banyak. Tidak perlu disebutkan satu persatu karena bukan porsi saya untuk membahasnya, yang pasti kancah perpolitikan Indonesia selalu ramai dengan nama-nama yang haus kekuasaan. Iyalah, wong Pemilu-nya masih 1000-an hari lagi, tapi “lalu lintas” isu untuk memunculkan nama tertentu sudah mulai padat.

Tidak mudah menaikkan seseorang ke arena public. Setidaknya dibutuhkan konsultan komunikasi politik, lembaga survey, dan konsultan lainnya yang menelan biaya tidak sedikit. Biaya itu tentu tidak terjun dari langit atau tumbuh di pohon uang, apalagi ada yang sukarela bersedekah.

Baca Juga: Keutamaan Sedekah dan Wakaf di Bulan Ramadhan

Dana-dana yang beredar di dunia politik tidak pernah ikhlas. Selalu ada kepentingan yang bermain di sana. Dan saat hari-H-nya tiba, sang calon yang dinaikkan ke atas arena memenangkan suara, tentunya dana-dana tadi harus dikembalikan dan dilipatgandakan dalam berbagai jelmaan. Apakah proyek tender, apakah pelanggengan kekuasaan di perusahaan tertentu, ah, banyak deh macamnya. Iyalah, namanya juga tidak ikhlas, selalu ada udang di balik bakwan.

Seringkali saya bingung, untuk apa orang berlomba-lomba menjadi pemimpin Negara?

Abdurrahman Bin Auf, sahabat Rasulullah SAW yang kaya raya saja masuk surganya merangkak dan perlahan-lahan bukan karena beliau tidak mulia akhlaknya, akan tetapi karena hartanya yang begitu banyak sehingga lama proses ‘hisab’-nya di yaumil akhir. Itu baru mengurus kekayaan sendiri. Apalagi jadi pemimpin Negara? Pertanggungjawabannya luar biasa besar dan banyak.

Apa itu seorang “Pemimpin”?

Pemimpin Negara, sebagai seorang pribadi, bertanggung jawab atas dirinya sendiri, keluarganya, dan harta yang dimiliki. Sebagai seorang majikan, ia bertanggung jawab atas kesejahteraan lahir batin pembantu yang bekerja di rumahnya, supir, tukang kebun, para ajudan, atau asisten pribadinya.

Sebagai tetangga, ia bertanggung jawab atas kelangsungan hidup tetangganya. Iya dong, dalam Islam kan diajarkan apabila seorang Muslim bisa makan kenyang sedangkan tetangganya tidak bisa tidur karena kelaparan, ia sudah berdosa.

Sebagai penghuni rumah, ia bertanggung jawab terhadap kebersihan lingkungannya. Dari peran-peran sosial yang relatif sama dengan kita saja sudah begitu banyak tanggung jawabnya. Bagaimana dia bertanggung jawab terhadap begitu banyak orang kelaparan di Indonesia dari Sabang sampai Merauke? Bagaimana dia bertanggung jawab terhadap anak-anak yang tidak bisa sekolah karena sekolahnya rubuh? Bagaimana pula dia bertanggung jawab terhadap angka kematian ibu yang tinggi karena kurangnya perawatan atau ditolak rumah sakit karena tidak ada biaya?

Itu baru manusia, belum kekayaan alam, flora dan fauna yang juga harus dijaga kelangsungannya. Apalagi Indonesia kaya raya alamnya, sudah barang tentu lebih banyak yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT kelak di hari dimana seorang ayah tidak bisa menolong anaknya.

Tidak enak jadi presiden di Indonesia. Makanya saya heran mengapa banyak sekali yang nafsu melihat kursi RI-1. Belum dikonteskan sudah banyak yang melakukan pertandingan. Atau mungkin kursi RI-1 demikian empuknya sehingga banyak juga yang sudah duduk lupa berdiri. Tapi, harus ada seseorang yang ‘ditumbalkan’ untuk memimpin sebuah negeri. Masalahnya, pemimpin seperti apa yang pantas diikuti oleh rakyatnya?

Nah, saya ingin mengajak untuk melihat kisah sosok pemimpin yang menorehkan sejarah besar peradaban Islam. Masa kepemimpinannya tidak lama, hanya dua tahun, lima bulan dan lima hari. Namanya adalah Umar Bin Abdul Azis. Ayahnya adalah gubernur Mesir yang tersohor, Abdul Azis Bin Marwan; sedangkan Ibunya adalah Ummu Asim Binti Asim. Sedangkan Asim, kakek dari pihak ibunya adalah anak dari sahabat Rasulullah yang juga khalifah kedua setelah Abu Bakar As-Sidiq, Umar Bin Khattab.

Kisah Umar Bin Abdul Azis 

Keberadaan Umar Bin Abdul Azis merupakan jawaban dari do’a Umar Bin Khattab saat menikahkan anaknya, Asim dengan seorang gadis miskin yang ditemuinya pada suatu malam. Sebagaimana kebiasaan khalifah Umar Bin Khattab, ia sering berjalan di malam hari untuk melihat kondisi nyata ummat Islam. Malam itu, Umar mendengar percakapan seorang ibu dan anak gadisnya, penjual susu yang miskin.

“Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari”, ujar sang Ibu pada anak gadisnya.

Si gadis kemudian berkata, “Kita tidak boleh berbuat seperti itu, Ibu. Amirul Mukminin melarang kita berbuat begitu”.

“Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”, kata sang Ibu lagi. Anak gadisnya menjawab, “Jika amirul mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu”.

Mendengar percakapan tersebut, Umar lantas menyuruh Asim menikahi gadis penjual susu tersebut karena Umar meyakini akan lahir keturunan berbudi luhur dan bersikap wara’ dari gadis tersebut. Dan menikahlah Asim dengan gadis miskin itu diiringi do’a dari Umar Bin Khattab, “Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”.

Umar Bin Abdul Azis lahir dari nasab yang baik. Bukan baik dari kedudukan atau kekayaan; akan tetapi baik dilihat dari ketaatan kepada Allah SWT. Ini sekaligus membuktikan bahwa mencari pasangan, atau mencari menantu hendaknya tidak hanya dinilai dari packagingnya saja; akan tetapi jauh lebih penting dilihat ketaatannya kepada Allah SWT.

Baca Juga: KISAH WAKAF SUMUR UTSMAN BIN AFFAN RA

Dua tahun lebih sedikit masa kepemimpinan Umar Bin Abdul Azis menorehkan sejarah pada peradaban Islam. Pemerintahannya adalah prototipe pemerintahan paling demokratis sepanjang sejarah peradaban Islam pasca era khulafa arrasyidin. Sebelum diangkat menjadi khalifah, Umar tidak pernah meminta-minta jabatan sekalipun ia dekat dengan khalifah Bani Umayyah, Sulaiman. Sulaiman adalah sepupu yang sangat menaruh hormat pada Umar Bin Abdul Azis.

Memang, sebelum menjadi khalifah, Umar Bin Abdul Azis pernah menjadi gubernur Madinah. Pada kepemimpinannya, ia mendirikan sebuah dewan yang kemudian bersama-sama dirinya menjalankan pemerintahan Madinah. Di masanya pula keluhan-keluhan rakyat yang berada di bawah kekuasaannya berkurang dan bisa diselesaikan dalam lingkup pemerintahannya, tidak perlu sampai ke Damaskus yang saat itu menjadi pusat pemerintahan Bani Umayyah.

Selain itu, Madinah banyak kedatangan gelombang migrasi orang-orang dari Irak yang melarikan diri dari pemimpinnya yang zhalim. Hal inilah yang kemudian berdampak pada pencopotan jabatannya sebagai gubernur Madinah. Al-Hajjaj Bin Yusuf, penguasa Irak tidak menyukai fakta bahwa rakyatnya bermigrasi ke Madinah; ia kemudian menekan khalifah Al-Walid untuk mencopot Umar Bin Abdul Azis. Akan tetapi, pencopotan tersebut tidak berpengaruh terhadap kredibilitas Umar Bin Abdul Azis sebagai pemimpin.

Kepercayaan penuh terhadap Umar Bin Abdul Azis dari Sulaiman -khalifah setelah Al-Walid- pulalah yang membawa Umar pada pucuk kepemimpinan sebagai Khalifah Bani Umayyah yang memiliki pemerintahan yang kokoh, kuat, dan stabil. Sebelum berpulang ke haribaan-Nya, khalifah Sulaiman sudah mewasiatkan satu nama yang dirasanya sangat cocok menggantikan dirinya. Bukan anak laki-laki atau saudara laki-lakinya sebagaimana tradisi kerajaan Arab; akan tetapi sepupu sekaligus sahabat dekatnya, Umar Bin Abdul Azis.

Terpilihnya Umar bin Abdul Azis sebagai Pemimpin

Menjelang wafatnya, penasihat khalifah Sulaiman bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, antara perkara yang menyebabkan engkau dijaga dalam kubur dan menerima syafaat dari Allah di akhirat kelak adalah apabila engkau tinggalkan untuk orang Islam khalifah yang adil, maka siapakah pilihanmu?”

Sulaiman menjawab, “Aku melihat Umar Bin Abdul Aziz”.

Maka sepeninggal khalifah Sulaiman, nama Umar Bin Abdul Azis-lah yang muncul untuk diangkat dan dibai’at sebagai khalifah Bani Umayyah yang baru. Di sinilah terlihat sikap Umar yang amat rendah hati dan demokratis, ia mengembalikan kepemimpinannya kepada ummat Islam. Sebelum ummat Islam berbai’at kepadanya, ia berkata,

“Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada dileher kamu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki”. Dan ummat Islam masih memilih Umar Bin Abdul Azis sebagai khalifah.

Sebagai seorang khalifah, Umar Bin Abdul Azis dikenal dengan kezuhudannya sebagaimana para khulafa arrasyidin; sehingga tidak salah apabila banyak yang mengalamatkan julukan khalifah kelima, meneruskan empat khalifah pertama, kepada beliau. Umar berhasil mengembalikan kondisi Madinah sebagaimana masa empat khalifah pendahulu.

Kisah Umar bin Abdul Azis pada masa kepemimpinannya pula harta zakat sedemikian menggunung karena tidak satupun ummat Islam di bawah pemerintahannya yang layak menerima zakat, sehingga harta zakat harus diekspor ke luar wilayahnya. Hal ini bisa berarti dua hal, rakyatnya sedemikian sejahtera sehingga semuanya menjadi muzakki dan tidak ada satupun yang menjadi mustahik; atau rakyatnya sedemikian bersyukur sehingga tidak ada satupun yang merasa dirinya layak untuk menjadi mustahik. Yang mana pun di antara keduanya, tidak mungkin lepas dari peran pemimpinnya yang zuhud, adil, dan berorientasi kepada Allah SWT.

Bukti Kepemimpinan Umar bin Abdul Azis

Tercatat pada masa kepemimpinannya, Raja Sriwijaya, mengirim suratnya yang kedua (surat yang pertama dari kerajaan Sriwijaya tercatat pada masa Muawiyah). Isinya sebagai berikut:

Dari Rajadiraja yang adalah keturunan seribu raja, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.

Kisah Umar Bin Abdul Azis, tidak seperti pemimpin pada umumnya, tidak mewariskan gelimang harta pada anak-anaknya. Ia meyakini bahwa anak-anak yang shaleh akan dijaga Allah SWT. Hal itu lebih baik, menurutnya daripada hartanya jatuh pada anak-anak yang tidak sholeh dan digunakan untuk mendurhakai Allah SWT.

Saat wafatnya, Umar Bin Abdul Azis tidak memiliki pakaian lain selain yang ia kenakan. Hal ini mengingatkan saya pada khalifah Abu Bakar As-Sidiq. Abu Bakar sejatinya adalah orang yang sangat berpunya; akan tetapi ia memilih kesahajaan. Ketika ia menjadi khalifah, ia merupakan orang paling miskin di Madinah karena ia takut pada kenikmatan dunia yang bisa melenakannya dari ketaatan kepada Allah SWT.

Sosok seperti Umar Bin Abdul Azis-lah yang cocok menjadi pemimpin negeri kita. Sosok yang amanah, berorientasi pada Allah SWT, dan ‘takut’ pada dunia sehingga dunia tidak memiliki tempat di hatinya. Sosok seperti itu pernah ada, nyata, dan bukan cerita dari negeri dongeng antah berantah yang sekedar menjadi cerita pengantar tidur. Dan bukan mustahil bagi Allah SWT untuk melahirkan Umar Bin Abdul Azis lainnya di negeri kita tercinta.

Baca Juga: Melepas Hasrat Dunia, Perbanyak Sedekah Jariyah

Namun Allah pun mengatakan tidak akan mengubah suatu kaum sebelum kaum itu mengubah diri mereka sendiri. Artinya, kita bisa melakukan sesuatu untuk menciptakan sosok seperti kisah Umar Bin Abdul Azis abad 21. Mulainya? Tentu dari kita sendiri.

Jadilah sosok-sosok seperti menantu Umar Bin Khattab. Terjaga integritas dan ke-wara’-annya terhadap Allah SWT. Sosok-sosok yang orientasi-nya bukan lagi dunia; akan tetapi Pemilik Dunia. Insya Allah, cepat atau lambat, kita dapati Indonesia dipimpin oleh perindu surga, pedamba cinta-Nya seperti Umar Bin Abdul Azis.

Wallahu a’lam

(Oleh: Shinta Galuh Tryssa – Fundraising & Communication Officer Tabung Wakaf Indonesia. Dapat dihubungi di email shinta.galuh@tabungwakaf.com, atau follow Twitter @katashinta)

pahala wakaf mengalir abadi. tabungwakaf dompet dhuafa