Skip to content

Memandang Amalan Pribadi

memandang amalan pribadi

Memandang Amalan Pribadi

Sahabat, betapa banyak amalan yang tak bernilai hanya karena si pelaku amalan tersebut memandang cukup pada amalan pribadinya. Seolah-olah dengan amalan tersebut, ia telah melakukan jutaan amal kebaikan, dan telah layak mengkavling rumah di surga.

Padahal, para Sahabat Rasulullah dan tabi’in saja hampir tidak ada yang memiliki sifat demikian, menganggap diri mereka layak ke surga disebabkan amalan-amalan mereka yang begitu banyak.

Umar bin Khattab radhiallahu’anhu misalnya, sahabat Rasulullah yang telah dijamin surga ini tetap saja berkata: “Andai terdengar suara dari langit yang berkata: “Wahai manusia, kalian semua sudah dijamin pasti masuk surga, kecuali satu orang saja”. Sungguh aku khawatir satu orang itu adalah aku.” (HR. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 138)

Bahkan orang yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu’alahi Wasallam, Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, ketika sakaratul maut pun berkata: “Aku tidak menangis karena urusan dunia kalian. Aku menangis karena telah jauh perjalananku, namun betapa sedikit bekalku. Sungguh kelak aku akan berakhir di surga atau neraka, dan aku tidak mengetahui mana yang diberikan padaku di antara keduanya.” (HR Nu’aim bin Hammad dalam Az Zuhd, 159)

Subhanallah, betapa orang saleh dan alim yang sejati takkan pernah menganggap dirinya demikian, takkan pernah menganggap amalan kebaikannya sudah cukup untuk mengamankan dirinya dari jilatan api neraka.

Baca Juga: 3 Amalan Jariah yang Terus Mengalir Setelah Wafat

Maka, inilah beberapa hal yang peru dilakukan agar diri kita tak pernah merasa telah cukup beramal:

1. Menyadari bahwa allah membenci orang yang ujub atau bangga diri

Bukankah dengan merasa diri telah cukup melakukan amalan kebaikan, tandanya di hati kita telah tertanam benih ujub yang amat dibenci Allah?

2. Mengingat bahwa surga bukan diperoleh karena amal ibadah kita, melainkan karena kasih sayang dan keridhoan Allah

Dengan menyadari hal ini, semoga kita takkan lagi terlalu percaya diri terhadap amalan sendiri, karena ternyata amalan sebanyak apapun takkan mampu membeli surga.

3. Bersu’udzon terhadap amalan sendiri

Su’udzon pada amalan sendiri terkadang diperlukan dan jauh lebih baik daripada berhusnudzon terhadap amalan yang dilakukan. Mengapa demikian?

Karena kriteria amalan yang diterima oleh Allah adalah amalan-amalan yang dilakukan dengan berkontinu dan memiliki kualitas amalan terbaik. Sudahkah kita memastikannya?

Demikianlah beberapa poin yang semoga bisa mengingatkan kita mengenai pentingnya tetap merendah dan merasa amalan kita belumlah cukup. Wallahualam. (SH)

pahala wakaf mengalir abadi. tabungwakaf dompet dhuafa