“Sedekah berpahala sepuluh kalinya, sedangkan memberi pinjaman berpahala delapan belas kalinya.”
Rasulullah bertanya kepada Jibril, “Wahai Jibril, mengapa pinjaman lebih utama daripada sedekah?”
Lalu Jibril menjawab, “Karena seorang peminta-minta, (terkadang) ia masih memiliki (harta), sedangkan orang yang meminta pinjaman, ia tidak akan meminta pinjaman kecuali karena kebutuhan.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)
Sahabat, mungkin di antara kita ada yang belum mengetahui bahwa memberi pinjaman jauh lebih utama daripada bersedekah.
Sebagaimana isi hadits di atas, memang benar terkadang orang meminta pinjaman dikarenakan benar-benar sedang membutuhkan bantuan dan kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan ketika kita memberi sedekah pada seseorang, bisa jadi sebenarnya orang tersebut sudah memperoleh sedekah dari yang lain, atau sedang tidak terlalu urgen memerlukannya karena masih memiliki simpanan.
Akan tetapi, tetap saja kita perlu selektif dalam memberi pinjaman, jangan sampai utang yang kita maksudkan untuk membantu, malah berefek sebaliknya, yakni justru menyuburkan karakter buruk seseorang yang terbiasa berutang.
Sudah menjadi rahasia umum, banyak orang di zaman sekarang ini berutang bukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melainkan untuk memenuhi gaya hidupnya yang tinggi.
Oleh sebab itu dalam memberi pinjaman pun kita perlu memperhatikan poin-poin berikut ini:
1. Pastikan karakter si peminjam dapat dipercaya
Sesungguhnya ada orang-orang yang ketika berutang telah memancang niat untuk tidak membayarnya. Orang-orang yang seperti ini sebaiknya tidak diberikan pinjaman karena justru berdampak buruk untuk dirinya di dunia dan akhirat.
“Tidaklah seseorang berutang dengan niatan tidak melunasinya, melainkan ia akan menghadap Allah dalam keadaan teranggap sebagai seorang pencuri.” (HR. Ibnu Majah dan al Baihaqi)
Orang seperti ini justru perlu diberi peringatan agar tak menyepelekan utang-utangnya.
“Barang siapa mati dan memiliki tanggungan utang dinar ataupun dirham, maka ia akan dilunasi dengan pahala kebaikannya. Karena di akhirat tiada lagi manfaat dinar ataupun dirham.” (HR. Ibnu Majah)
2. Tidak mempersyaratkan penambahan dalam membayar atau pemberian hadiah
Jangan sampai pinjaman yang kita berikan mengandung unsur riba karena adanya syarat penambahan jumlah nominal atau pemberian hadiah ketika pelunasan.
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.”
Beda halnya jika si pemilik utang yang berinisiatif memberi hadiah sebagai ucapan terimakasih, asalkan hal ini tidak dijadikan syarat atau permintaan dari pemilik piutang.
3. Berniat membantu dan memudahkan kesulitan orang lain
Ada orang yang memberi pinjaman utang hanya karena merasa tidak enak kalau tidak memberikan, atau merasa terpaksa. Sungguh amat disayangkan.
Padahal jika kita meminjamkan dengan niat melepas kesulitan orang lain, Allah mencintai hal-hal yang demikian dan sebagai balasannya Ia akan memudahkan segala urusan kita di dunia maupun akhirat.
“Barangsiapa yang meringankan kesulitan seorang mukmin di dunia niscaya Allah akan meringankan kesulitannya di Akhirat dan barangsiapa yang mempermudah orang mukmin yang sedang dalam kesulitan niscaya Allah akan mempermudah urusannya di dunia dan akhirat. (HR. Muslim, no.7028)
Sahabat, jelas bahwa memberi pinjaman bukanlah perkara muamalah yang bisa diremehkan, karena sesungguhnya nilainya bisa jauh lebih besar dibandingkan bersedekah dengan harta benda. Wallaahualam. (SH)