Sahabat, tidak sedikit orang memberikan sedekah yang merupakan uang sisa saja. Sisa dari apa? Yaa sisa dari seluruh uang keperluan yang sudah dianggarkan.
Prioritas pertama itu makan, kemudian transportasi, komunikasi, entertainment, hobi, blablabla… baru kemudian prioritas terakhir adalah sedekah.
Kalau hanya bersisa seratus ribu, yaa… Berarti sedekah bulan ini hanya seratus ribu. Kalau tidak bersisa, yaa kalau begitu anggaplah bersedekah pada keluarga saja.
Padahal jika kita mau meneliti anggaran keuangan kita, banyak sekali pengeluaran yang tidak prioritas bahkan terkesan mewah, inilah yang disebut dengan gaya hidup.
Banyak orang zaman sekarang yang lebih memilih membeli gaya hidup daripada mengalokasikan uangnya untuk bersedekah.
Minum kopi di kafe, minimal harus keluar lima puluh ribu sekali duduk. Entah berapa kali duduk di kafe dalam sebulan. Kalau pekerjaannya memang mengharuskan demikian masih bisa dimaklumi, tapi kalau sekadar untuk hang out?
Nonton film di bioskop, berikut dengan popcorn, french fries, dan segelas besar soda. Entah berapa film bioskop yang ditonton dalam sebulan.
Membeli produk perawatan wajah dan kosmetik, harus yang branded, satu produknya saja seharga setengah juta, padahal ada produk yang sama fungsinya, namun harga sepuluh kali lebih murah, dianggapnya tidak level.
Begitulah kondisi kita… Belum memprioritaskan sedekah. Masih memprioritaskan gaya hidup.
Sebenarnya jika gaya hidup tinggi tapi juga sedekahnya bernilai lebih dari itu tentunya masih terasa sah-sah saja, misalnya pengeluaran bulanan untuk gaya hidup sepuluh juta, untuk sedekah sebelas juta.
Tapi pada faktanya, bukankah banyak yang menolak bersedekah karena kehabisan uang untuk membeli gaya hidup saja?
Sungguh jauh kondisi kita saat ini dengan kondisi di zaman Rasulullah dahulu. Bahkan Rasulullah begitu takut jika di rumahnya masih ada uang yang tersisa, ia akan segera menyedekahkannya. Sedangkan kita sebaliknya, begitu takut jika tidak ada uang di rumah.
Mari kita simak hadits berikut:
“Kisah Umar radhiyallahu ‘anhu: Aku (Umar) masuk menemui Rasulullah yang sedang berbaring di atas sebuah tikar. Aku duduk di dekatnya lalu beliau menurunkan kain sarungnya dan tidak ada sesuatu lain yang menutupi beliau selain kain itu. Terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di tubuh beliau. Kemudian aku melayangkan pandangan ke sekitar kamar beliau. Tiba-tiba aku melihat segenggam gandum kira-kira seberat satu sha‘ dan daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar serta sehelai kulit binatang yang belum sempurna disamak. Seketika kedua mataku meneteskan air mata tanpa dapat kutahan. Rasulullah bertanya: Apakah yang membuatmu menangis, wahai putra Khathab? Aku menjawab: Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis, tikar itu telah membekas di pinggangmu dan tempat ini aku tidak melihat yang lain dari apa yang telah aku lihat. Sementara kaisar (raja Romawi) dan kisra (raja Persia) bergelimang buah-buahan dan sungai-sungai sedangkan engkau adalah utusan Allah dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini. Rasulullah lalu bersabda: Wahai putra Khathab, apakah kamu tidak rela, jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka?” (HR. Muslim)
Sahabat, kita semua mengetahui bahwa Rasulullah adalah seorang pebisnis yang jujur dan memiliki harta yang tak sedikit, namun lihatlah betapa beliau memprioritaskan harta yang dimilikinya untuk sedekah pada orang lain, dan tidak menginginkan tubuhnya memperoleh kenikmatan berlebihan dengan apa yang disebut sebagai gaya hidup.
Maka, hendaknya kita mulai memprioritaskan sedekah, dimulai dari orang-orang terdekat yakni kerabat yang kurang mampu, hingga sedekah pada yatim dan dhuafa yang tidak kita kenal sekalipun. (SH)
Baca Juga: Sedekah Tanpa Diketahui Tangan Kiri