Sahabat, masih ingat kisah wakaf sumur yang dilakukan Utsman bin Affan dan masih terus menghasilkan bahkan ‘beranak pinak’ menjadi kebun dan hotel mewah 1400 tahun kemudian?
Tentu setiap pewakaf berharap benda wakaf yang diserahkannya di jalan Allah bisa meraih manfaat seluas apa yang telah dicapai oleh wakaf sumur Utsman bin Affan tersebut. Akan tetapi kenyataannya banyak wakaf yang masih terbengkalai pemanfaatannya.
Di Indonesia jumlah total tanah wakaf mencapai lebih dari 4 Milyar meter persegi yang tersebar di sekitar 428.535 lokasi berbeda. Akan tetapi pemanfaatannya diakui oleh banyak pihak belum maksimal.
Misalnya, ada tanah wakaf yang hanya dimanfaatkan untuk membuat sebuah klinik kecil, padahal tanahnya luas. Seandainya bisa dipergunakan untuk membangun rumah sakit besar, tentu manfaatnya akan lebih optimal bagi masyarakat.
Atau, jika tanah tersebut dapat dimanfaatkan untuk membangun hotel syariah, kemudian keuntungannya dipergunakan untuk menyantuni kaum dhuafa dan anak yatim, tentu sifat tanah wakaf tersebut bisa lebih produktif dan maksimal.
Bukankah wakif yang mewakafkan tanahnya berharap bisa memperoleh aliran pahala yang deras sampai hari kiamat kelak dari pemanfaatan benda wakafnya tersebut? Sungguh kecewa jika wakaf yang dipercayakan justru tidak dimanfaatkan maksimal.
Salah satu faktor tidak maksimalnya pemanfaatan tanah atau benda wakaf lainnya adalah faktor nazhir. Yakni orang atau badan hukum yang dipercayakan untuk mengelola benda wakaf. Kebanyakan nazhir kurang kreativitas dan tidak memiliki jiwa entrepreneur sehingga menjadikannya kurang lincah melihat peluang dalam menggali sebesar-besarnya manfaat benda wakaf yang dititipkan padanya.
Walaupun dalam referensi fiqih klasik, peranan Nazhir tidak begitu dianggap penting, bahkan tidak termasuk salah satu rukun wakaf, akan tetapi melihat tujuan wakaf serta tidak optimalnya pemanfaatan tanah wakaf yang ada selama ini, sudah semestinya ada perhatian khusus terhadap Nazhir.
Semestinya tiap perorangan ataupun badan hukum yang dipercaya menjadi Nazhir memiliki kualifikasi khusus di luar karakter-karakter utama, seperti: Jujur, adil, dan amanah sebagaimana di syaratkan oleh fiqih.
Bahkan dalam undang-undang pasal 10 ayat 1 hanya memberi persyaratan Nazhir sebagai berikut :
- Warga negara Indonesia
- Beragama Islam
- Dewasa
- Amanah
- Mampu secara jasmani dan rohani
- Tidak terhalang/ melakukan perbuatan hukum.
Tentunya persyaratan tersebut terlalu umum dan kurang terperinci. Padahal Nazhir memegang peranan signifikan dalam memaksimalkan benda wakaf.
Eri Sudewo, salah satu pendiri Dompet Dhuafa, memberikan rincian kriteria yang seharusnya ada dalam diri seorang Nazhir untuk memaksimalkan potensi wakaf, yakni sebagai berikut:
1. Syarat Moral, meliputi:
– Paham tentang hukum wakaf dan ZIS, baik dalam tinjauan syariah maupun perundang-undangan yang ada di Republik Indonesia
– Tahan godaan, terutama menyangkut perkembangan usaha
– Sungguh-sungguh dan suka tantangan
– Punya kecerdasan, baik emosional maupun spiritual
2. Syarat manajemen, meliputi:
– Kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership
– Visioner
– Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual, sosial, dan pemberdayaan
– Profesional dalam pengelolaan harta
3. Syarat Bisnis, meliputi:
– Punya ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya seorang entrepreneur
Oleh sebab itu, para wakif hendaknya lebih selektif lagi dalam mempercayakan benda wakafnya pada Nazhir yang memiliki kriteria lengkap tersebut, jika memang menginginkan hasil maksimal dari wakafnya di dunia dan akhirat. Wallahualam. (SH)
Baca Juga: Fiqh Wakaf