“Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfaal: 28)
Sahabat, siapa bilang musibah dan ujian hidup selalu tampil dalam bentuk yang menyebalkan? Justru kebanyakan ujian tersulit adalah ujian dalam bentuk yang menyenangkan. Di antaranya adalah harta dan anak-anak keturunan.
Bukankah banyak orang yang diuji dengan harta kekayaan lalu lalai terhadap ibadah dan amal shalehnya? Ia disibukkan dengan berbagai urusan, perniagaan, dan hal lainnya yang membuatnya terlupa bahwa hidup bukan hanya sekadar materi.
Demikian juga terhadap anak-anak, betapa banyak orang yang melakukan apapun hanya demi memanjakan anak-anaknya dengan fasilitas kehidupan, mulai dari makanan, pakaian, dan pendidikan terbaik, sampai-sampai rela menghalalkan yang haram atau syubhat dalam pencarian nafkah dengan alasan demi anak.
Padahal Allah telah jelas memperingatkan dalam al Quran, jangan sampai harta dan anak yang dititipkanNya membuat kita terlena dan lalai:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al Munafiqun: 9)
Bahkan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam telah mengindikasikan bahwa harta dan anak-anak merupakan ujian terberat untuk umat Islam:
Dari Ka’ab Bin Iyadh bahwasanya Rasululloh bersabda: “Sesungguhnya bagi setiap umat ada cobaan, dan cobaan bagi umatku adalah harta dan anak anak” (HR. At Timidzi dan dishahihkan Syaikh Albani dalam Shohihul jami’ no 2148)
Sahabat, mengetahui betapa besarnya ujian menyenangkan berupa harta dan anak, berikut ini beberapa hal yang bisa kita lakukan agar lulus dari ujian tersebut:
1. Selalu menyadari bahwa harta dan anak-anak bukanlah milik kita, melainkan hanya titipan Allah!
Ini adalah dasar yang perlu selalu diingat. Karena kebanyakan orang menjadi lalai disebabkan kekeliruannya menganggap harta dan anak sebagai miliknya sendiri yang bebas diperlakukan sekehendak hati.
Orang yang menyadari bahwa harta dan anak-anak hanyalah titipan Allah yang suatu saat perlu dikembalikan bahkan dipertanggungjawabkan di hadapanNya in syaa Allah akan lebih waspada dalam menjaga titipan tersebut.
2. Menyadari potensi fitnah (ujian) harta dan anak
Banyak orang yang melihat harta dan anak-anak hanya sebagai anugerah dan perhiasan dunia semata, padahal di samping itu harta dan anak bisa juga menjadi sumber fitnah atau ujian.
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At-Taghabun: 15)
Jika menyadari hal ini sebagai sumber fitnah, maka seorang yang beriman akan tetap mengutamakan ibadah dan perbuatan amal shalehnya daripada menyibukkan diri sekadar mengurus harta dan anaknya. Bahkan mengurus harta serta anak bisa dijadikannya sebagai bagian dari ibadah pada Allah juga:
”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al Kahfi: 46)
3. Harta dan anak-anak yang kita banggakan tidak bisa menyelamatkan dari azab Allah kelak, kecuali jika kita bertaqwa
”Harta benda dan anak-anak mereka tiada berguna sedikitpun (untuk menolong) mereka dari azab Allah. Mereka itulah penghuni neraka, dan mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Mujaadilah: 17)
Jadi, mengapa kita berbangga dengan banyaknya harta dan keturunan jika hal tersebut tak mampu menyelamatkan kita dari siksa neraka?
Kecuali bagi orang-orang yang tunduk pada Allah dan memasrahkan dirinya serta menjadikan harta dan anak keturunannya sebagai fasilitas untuk bertaqwa pada Allah.
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89)
4. Menjadikan harta dan anak sebagai aset kebaikan yang pahalanya tak berhenti mengalir
Idealnya, seorang yang beriman justru akan memanfaatkan harta dan anak-anaknya untuk aset kebaikan yang bernilai amat besar dan tak terhingga bahkan tetap mengalirkan pahala meskipun ia sudah meninggal:
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)
Maka, jangan pernah ragu untuk menjadikan harta kita sebagai sedekah jariyah, dalam hal ini sedekah yang berbentuk wakaf dan kemanfaatannya bisa dirasakan terus-menerus untuk umat. Dengan demikian, in syaa Allah kita bisa lulus dari ujian harta.
Lalu bagaimana agar lulus dari ujian anak? Tentu saja dengan menunaikan segala hak anak dari orangtua, seperti memberi anak nama yang baik, memilih pasangan hidup yang shaleh agar anak memiliki orangtua shaleh, serta mendidik anak agar akrab dengan al quran dan nilai-nilai Islam.
Jika kita berhasil melakukannya, in syaa Allah harta dan anak-anak bukan lagi menjadi sumber fitnah, melainkan sebaliknya, harta dan anak bisa menjadi aset yang tak ternilai harganya untuk kehidupan dunia dan akhirat.
Sahabat, semoga kita bisa lulus dari berbagai ujian yang Allah berikan, baik yang berupa musibah yang menyedihkan atau dari ujian yang Menyenangkan seperti harta dan anak-anak. Aamiin. (SH)